Tuesday, November 11, 2008

I Miss Library...


Waktu udah menunjukkan petang, dan kakikku terasa pegel-pegel dan kesemutan akibat berjam-jam berada di Amplaz (Ambarrukmo Plaza). Bukan shopping atau melototin mahluk-mahluk seksi dan menarik disana yang aku lakukan, tapi adalah menyambangi toko buku merangkap perpustakaan tidak resmi (setidaknya bagiku), Gramedia. Berjam-jam baca sambil berdiri, jongkok, senderan, ngesot, dll. Membaca buku kadang bisa jadi sebuah candu bagiku, dan ketika asyik dengan sebuah bacaan rasa kesemutan dan pegel-pegel ini bisa terkamuflase dengan baik. Sampe akhirnya yang jadi korban adalah sepatu Airwalk yang lumayan mahal ini jadi ketekuk-tekuk dan berubah bentuk. Tapi tak apalah.

Buku yang aku baca kali ini adalah mengenai travelling. Hobi yang menarik nan menantang ini terpaksa tidak sering kulakukan karena faktor "U" (bukan Umur tapi Uang). Se-backpacker-backpacker-nya apapun tetep aja hobi ini terasa mahal bagiku yang sementara ini masih jadi pengangguran, hiks. Tapi aku berjanji jika ada kesempatan dan "U" aku akan menunaikan hobi ini dan membaginya kepada siapapun yang mau diajak berbagi. Namun kali ini aku nggak akan bercerita banyak tentang buku yang aku baca hari ini. Jika sodara-sodara pengen tau mending buka aja sinopsis buku "Naked Traveler" yang informatif dan sangat lucu ini.


Yang pengen aku bagi kali ini adalah mengenai perpusatakaan alias library. Nasib aku yang nggak berada di kalangan the have much tapi cuma berada di kalangan the have not too enough kadang begitu menyusahkanku untuk menuntaskan gairah membaca. Tipikal kota-kota kebanyakan di Indonesia, Yogyakarta kurang begitu memfasilitasi warganya dengan perpusatakaan. Sekarang spot favoritku untuk membaca buku hanyalah Toga Mas atau Gramedia yang terkadang bikin nggak enak hati karena dipelototin (diliatin sembari dibatin aja ding) penjaganya karena baca tanpa beli. Bersyukurlah karena aku tinggal di Indonesia, bukan di Jepang atau Cina yang penjual bukunya dengan kejam mengusir orang-orang macam aku ini dengan kemoceng atau sapu lidi. Sialnya baca gratis ini tidak menyediakan tempat duduk layaknya perpustakaan, jadinya relakan saja kaki keram dan snut-snut.

Seumur hidup aku belum pernah nemu perpustakaan yang nyaman dan komplit di Jogja maupun tempat-tempat lain yang pernah kukunjungi. Aku nggak tau apa mungkin aku yang kurang gaul atau apa. Yang jelas situasi ini sedikit banyak mencerminkan sikap warga masyarakat maupun pemerintah Indonesia yang tidak memperhatikan kepentingan membaca sebagai kepentingan publik yang perlu difasilitasi. Perpustakaan kampusku sendiri hanya berada pada ruangan seluar kamar kos dengan koleksi buku-buku yang nggak bisa diandalkan, karena saking tuanya atau kurang bermutu. Hal yang sama juga terjadi pada perpustakaan SMA, SMP, dan lebih parah lagi SD. Perpustakaan umum daerah juga tidak banyak membantu. Yang disimpan disana kebanyakan buku-buku tua, dan tempatnya juga minim cahaya juga berbau aneh dengan nuansa angker. Ini jelas-jelas bukan tempat yang menjadi pilihanku untuk menghabiskan berjam-jam waktu untuk membaca. Yang sedikit lebih mending mungkin perpusatakaan di LIP, meskipun kebanyakan bukunya berbahasa Prancis maupun Inggris tapi koleksinya lengkap dan tempatnya nyaman, bersih, juga tidak berisik. Tapi sayangnya perpustakaan ini khusus untuk anggota LIP, berbayar, dan birokrasinya (untuk meminjam) kadang-kadang sulit. Parah banget memang nasib perpustakaan di Indonesia.


Perpustakaan pada dasarnya adalah wadah bagi masyarakat untuk membaca dan memperoleh informasi. Aku yakin semangat ini ada pada setiap diri manusia, namun kadang redup ketika tidak terfasilitasi. Yang perlu digarisbawahi adalah tidak semua orang bisa membeli buku atau bahan bacaan untuk memenuhi kebutuhan informasinya. Keadaan perpustakaan di Indonesia yang jarang dan tidak nyaman hanya akan menambah kelesuan budaya membaca, sehingga masyarakat menjadi semakin ketinggalan ilmu pengetahuan. Merosotnya ilmu pengetahuan hanya akan memicu keterpurukan suatu bangsa dalam segala bidang. Jadinya orang yang terlahir cerdas dapat tidak tahu apa-apa dan terjebak dalam kegelapan ilmu.

Oh, aku rindu sekali pada perpustakaan. Dulu aku punya banyak buku di rumah peninggalan paman, tante, nenek, ayah, dll. Tapi kini berangsur-angsur buku itu mulai rusak, hilang dan lenyap. Aku sih berusaha setiap kali punya anggaran lebih untuk membeli buku baru. Tapi lama-lama begah juga, kadang suka nyesek kalo lihat buku bagus di Gramedia/Toga Mas disegel dan nggak kebeli. Suka kadang pengen balas dendam, borong buku habis-habisan (sampe duit habis maksudnya, bukan stok habis) dan baca semuanya lalu ditata rapi di lemari. Beberapa kali aku sempat sih balas dendam, cuma kadang kecewa karena salah beli buku. Masalahnya ada beberapa buku yang cara penulisannya atau materinya kurang baik. Coba ada perpustakaan, kan nggak perlu beli. Membeli buku hanya membatasi hak seseorang untuk memperoleh informasi, seolah-olah hanya yang berduit saja yang berhak dapat informasi. Sungguh kenyataan yang sangat miris.


Sebenarnya sumber pengetahuan nggak hanya berasal dari buku. Bisa saja ilmu itu didapat dari obrolan ringan maupun browsing di internet. Namun obrolan ringan kadang memberikan ilmu yang lebih tidak relevan dan tidak terpercaya dibanding buku. Internet juga, meskipun banyak hal yang bisa didapat didalamnya, membaca teks di layar monitor tidak begitu baik untuk kesehatan mata. Internet juga sampai saat ini belum bisa diakses semua orang. Koneksi internet masih relatif mahal bagi sebagian orang, belum lagi fenomena gaptek yang masih mewarnai masyarakat Indonesia. Buku adalah satu-satunya penyelamat yang efektif. Aku sih berharap saja keadaan perpustakaan Indonesia di masa mendatang bisa sedikit menyejukkan. Tapi untuk bergerak sebenarnya kita semua bisa mulai dari sekarang. Percuma saja no action talk only, kalo emang belum bisa beli buku bisa usaha untuk patungan maupun menjadi anggota perpustakaan berbayar. Ilmu itu memang kadang mahal, tapi nantinya dapat menjadi dewa penolong di kemudian hari. Duh jadi inget ceramah subuh di radio tadi pagi.

3 comments:

  1. Banyak orang pikir generasi muda sekarang dimanjakan dengan berbagai channel tv, dvd, CD, games sehingga mereka makin malas saja untuk membaca buku he..he.. Ternyata ngga bener juga ya, kamu sebagai salah satu dari generasi muda itu justru merindukan perpustakaan..... he..he..

    Makanya ambisi google untuk mendigitalisasi semua buku di dunia dan menyediakannya online secara cuma2, ambisi yang hebat sekali ya, cuma sayang dia terbentur masalah copyright... ya sayang penulis masih mesti makan he..he...

    ReplyDelete
  2. bener apa yg kamu bilang. dulu waktu di Jakarta, gajiku tiap bulan habis buat beli buku soalnya perpustakaan gak bisa diharapkan. belum lagi soal urusan peminjaman yg gak gampang.

    sampai sekarang kayaknya belum ada kemajuan apa2 kalo ngomong soal perpustakaan di indonesia. mungkin terhalang masalah dana. dan sepertinya dari dulu hal ini gak pernah jadi prioritas pemerintah. idealnya sih orang2 berduit/perusahaan/pihak swasta mau menyumbangkan buku2 dan membuka perpustakaan bagi penduduk...jadi gak cuma menunggu pemerintah yg sama saja seperti menunggu godot

    ReplyDelete
  3. Waktu nonton 'National Treasure 2'..saya bener2 ngiri sama gedung dan koleksi perpustakaan di film itu, hebat banget deh!

    ReplyDelete