Tuesday, November 11, 2008

Atmosfear Daredevil


Sewaktu berkunjung ke Jakarta beberapa bulan yang lalu, aku adalah salah satu dari sekian orang yang berkesempatan mencoba wahana di FX Mall Sudirman, yaitu Atmosfear. Atmosfear adalah dry-slider setinggi 28 meter atau 7 lantai dengan panjang lintasan 72 meter yang konon diklaim sebagai dry-slider terpanjang di Asia Tenggara. Sejujurnya waktu itu aku tidak begitu niat untuk mencoba, melihat orang yang udah mencoba saja bikin merinding. Tapi ternyata temanku yang mendapat undian tiket Atmosfear memutuskan untuk menyerahkan tiket ini pada pemenang hom-pim-pah. Apesnya (atau untungnya ya?) aku yang dpaet tiket itu. Akhirnya dengan sedikit bergidik dan deg-degan aku coba juga untuk segera naik ke lantai F7 dan mulai mengantri.

Ternyata disana sudah lumayan banyak orang yang ingin menantang keberaniannya juga. Namanya juga Atmosfear, suasana mencekam dan mendebarkan disuguhkan bagi para penantang nyali. Aku itu termasuk orang yang nggak bandel-bandel amat, tapi juga bukan penakut. Tapi melihat orang-orang yang udah duluan coba bikin aku gentar juga. Di kamera CCTV dilihatin proses merosotnya yang walaupun lintasannya cukup panjang hanya berlangsung selama beberapa detik saja. Bagi para penantang nyali sejati mungkin ini nggak seberapa. Namun ini adalah pengalamanku pertama kali mencoba wahana mengerikan seperti ini.


Akhirnya tiba juga giliran aku yang unjuk gigi. Seperti orang Asia pada umumnya, aku termasuk sedikit takut ketinggian. Pemandu di belakangku memasangkan alat pengaman dan berteriak "SIAP!!" dan tanpa menunggu jawabanku mulai mendorong dan akhirnya aku merosot dengan kecepatan tinggi di dalam tabung aneh itu. Rasanya udah bikin jantung copot dan di dalam aku teriak sekencang-kencangnya. Sebelum meluncur dengan isengnya pemandu bercerita kalau udah pernah ada yang patah tulang rusuknya, apa nggak tambah bikin ngeri tuh? Sepanjang lintasan aku harap-harap cemas dan berdoa agar tulang rusukku nggak kenapa-napa. Untungnya aku sukses pula sampai di F1 dengan kepayahan. Tapi ada kepuasan dan euforia tersendiri setelah mencoba wahana ini, mungkin inilah yang disebut ego untuk menahlukkan. Aku jadi mengerti apa yang dirasakan penikmat olahraga ekstrim seperti bungee jumping, sky diving, paralayang, dll.

Lain kali mungkin aku akan coba olahraga ekstrim lainnya. Segala sesuatu kalau memang belum dicoba nggak akan tahu rasanya. Olahraga ekstrim banyak memberikan pengalaman tak terlupakan bagi yang melakukannya. Tapi tentunya keselamatan harus tetap jadi yang utama. Jangan sampai ketika melakukannya itu adalah kali terakhir. Intinya harus bisa mengukur diri sendiri. Mengenali phobia yang diidap itu penting, jangan sampai orang yang takut ketinggian memaksa untuk sky diving atau orang yang takut tempat tertutup memaksa untuk menyelam. Bagi sodara-sodara yang udah pernah melakukan olahraga ekstrim ceritain pengalaman dan pendapat kalian dunk!

Gambar diambil dari sini
Video dari sini

STMIK Achmad Yani, Bukan Lagi AMIK


Hari ini mungkin adalah yang bersejarah untuk kampusku. Sebab tepat pada 11 November ini, secara resmi kampus AMIK Kartika Yani berganti nama menjadi STMIK Jendral Achmad Yani. Pergantian nama ini juga disertai dengan penambahan jurusan baru yaitu S1 Teknik Informatika. Ini tentunya adalah suatu kemajuan yang cukup signifikan bagi kampusku yang selama ini tidak begitu dikenal walaupun udah pasang spanduk dimana-mana. Peresmiannya sendiri dihadiri oleh pemimpin Yayasan Kartika Eka Paksi, direktur AMIK Kayani, tamu undangan dan beberapa mahasiswa AMIK.

Peresmian diselenggarakan di lingkungan kampus AMIK Kartika Yani dan diadakan secara sederhana. Sepintas saat menghadirinya serasa sedang berada dalam resepsi pernikahan seseorang. Namun bedanya, tidak tampak bunga dimana-mana seperti layaknya resepsi pernikahan. Bunga hanya disematkan pada jas dan baju dosen maupun karyawan AMIK, hehehe. Acaranya dimulai sekitar jam 8.00 pagi, tapi tamu undangan baru lengkap datang sekitar pukul 10.00 pagi. Maklum lah, ini masih di Indonesia, negara yang kental sekali dengan budaya jam karet. Aku sendiri waktu itu duduk pada barisan tempat duduk yang mayoritas perempuan penghuninya. Tapi demi semangat kesetaraan gender, aku nggak peduli. Toh setelah itu ada beberapa juga mahasiswa yang ikut-ikutan duduk di barisan mahasiswi.

Acara kali ini harus disertai dengan hawa panas dan gerah yang nggak biasa di musim penghujan ini. Mungkin penyelenggaranya menyewa pawang hujan agar acaranya dapat berlangsung lancar. Tapi efeknya beberapa tamu undangan, khususnya yang berada di barisan mahasiswa-mahasiswi merasa begitu kegerahan. AC blower dan kipas angin hanya disediakan untuk tamu kehormatan, mahasiswa dibiarkan menderita. Namun yang penting kami semua berbahagia, selain bisa nyuri-nyuri waktu untuk ngobrol, juga merasa bangga akan kemajuan kampus kami tercinta ini. Waktu 4 jam jadi tidak terasa karena saking asyiknya.


Paduan suara mengiringi prosesi peresmian AMIK, Acacia choir namanya. Tapi apa mungkin karena kekurangan lagu atau maunya memang begitu, banyak lagu yang berulang-ulang kali disajikan. Empat buah TV layar datar dan lebar juga menghiasi panggung utama acara ini. Melalui alat itu ditampilkan animasi dan slide-slide yang cukup menarik tentang kampus AMIK Kartika Yani dan pergantian namanya. Animatornya memang handal dan tidak membuat malu predikat AMIK sebagai kampus ilmu komputer. Inilah yang harusnya dijadikan cerminan civitas akademia kampus AMIK.

Prosesi acara dimulai dari pelantunan lagu Indonesia Raya dan mengheningkan cipta yang selanjutnya diisi oleh pembacaan surat keputusan Dinas Pendidikan yang menyetujui pengajuan perubahan jenjang pendidikan kampus AMIK. Kemudian peresmiannya ditandai dengan penyarungan bendera logo AMIK dan pembukaan sarung yang menutupi bendera logo STMIK, cukup simbolis memang. Lalu direktur AMIK dilantik kembali menjadi direktur STMIK yang disertai dengan pembacaan janji kepemimpinan. Acara itu dirampungkan dengan pelantunan Mars dan Hymne STMIK Achmad Yani yang baru pertama kali ini kudengar. Singkat namun terasa padat juga.

Acara ramah tamah diwarnai dengan gosip menggosip oleh rombongan mahasiswi yang membahas satu persatu dosen dan mahasiswa yang lalu lalang. Cukup seru untuk disimak namun akhirnya membuat perut terasa keroncongan. Karena perut sudah tidak bisa ditolerir, akhirnya kami semua dipersilahkan untuk mengambil jatah makan siang yang dipersiapkan bagi tamu mahasiswa. Berbeda dengan tamu kehormatan yang menikmati hidangan prasmanan, kami semua boleh puas dengan menikmati nasi gudeg dalam kardus. Gudegnya lumayan enak (tapi aku cukup bosan dengan makanan ini!) dan yang lebih enaknya lagi, semua mahasiswa makan bersama-sama dalam gasebo, jarang-jarang ada momen seperti ini. Secara keseluruhan acara ini termasuk menyenangkan, selain gratis juga meriah. Musik techno dan trance ala dugem sempat pula menambah keramaiannya, entah apa maksudnya?

Semoga saja peresmian STMIK Achmad Yani kali ini disertai pula dengan peningkatan kualitas dan mutu akademiknya. Sehingga pergantian nama tidak hanya dimaknai secara simbolis tapi juga dapat diaplikasikan dalam kenyataannya. Pembangunan gedung baru turut juga menyertai acara ganti nama ini. Rencananya kompleks kampus akan dibangun lebih luas untuk mengakomodir kebutuhan jurusan baru maupun mahasiswa pada umumnya. Website AMIK Kayani pun rencananya akan berganti dari alamat www.kyani.ac.id menjadi www.stmikayani.ac.id. Cuma sementara ini belum online. Yah sukses deh buat kampusku!

I Miss Library...


Waktu udah menunjukkan petang, dan kakikku terasa pegel-pegel dan kesemutan akibat berjam-jam berada di Amplaz (Ambarrukmo Plaza). Bukan shopping atau melototin mahluk-mahluk seksi dan menarik disana yang aku lakukan, tapi adalah menyambangi toko buku merangkap perpustakaan tidak resmi (setidaknya bagiku), Gramedia. Berjam-jam baca sambil berdiri, jongkok, senderan, ngesot, dll. Membaca buku kadang bisa jadi sebuah candu bagiku, dan ketika asyik dengan sebuah bacaan rasa kesemutan dan pegel-pegel ini bisa terkamuflase dengan baik. Sampe akhirnya yang jadi korban adalah sepatu Airwalk yang lumayan mahal ini jadi ketekuk-tekuk dan berubah bentuk. Tapi tak apalah.

Buku yang aku baca kali ini adalah mengenai travelling. Hobi yang menarik nan menantang ini terpaksa tidak sering kulakukan karena faktor "U" (bukan Umur tapi Uang). Se-backpacker-backpacker-nya apapun tetep aja hobi ini terasa mahal bagiku yang sementara ini masih jadi pengangguran, hiks. Tapi aku berjanji jika ada kesempatan dan "U" aku akan menunaikan hobi ini dan membaginya kepada siapapun yang mau diajak berbagi. Namun kali ini aku nggak akan bercerita banyak tentang buku yang aku baca hari ini. Jika sodara-sodara pengen tau mending buka aja sinopsis buku "Naked Traveler" yang informatif dan sangat lucu ini.


Yang pengen aku bagi kali ini adalah mengenai perpusatakaan alias library. Nasib aku yang nggak berada di kalangan the have much tapi cuma berada di kalangan the have not too enough kadang begitu menyusahkanku untuk menuntaskan gairah membaca. Tipikal kota-kota kebanyakan di Indonesia, Yogyakarta kurang begitu memfasilitasi warganya dengan perpusatakaan. Sekarang spot favoritku untuk membaca buku hanyalah Toga Mas atau Gramedia yang terkadang bikin nggak enak hati karena dipelototin (diliatin sembari dibatin aja ding) penjaganya karena baca tanpa beli. Bersyukurlah karena aku tinggal di Indonesia, bukan di Jepang atau Cina yang penjual bukunya dengan kejam mengusir orang-orang macam aku ini dengan kemoceng atau sapu lidi. Sialnya baca gratis ini tidak menyediakan tempat duduk layaknya perpustakaan, jadinya relakan saja kaki keram dan snut-snut.

Seumur hidup aku belum pernah nemu perpustakaan yang nyaman dan komplit di Jogja maupun tempat-tempat lain yang pernah kukunjungi. Aku nggak tau apa mungkin aku yang kurang gaul atau apa. Yang jelas situasi ini sedikit banyak mencerminkan sikap warga masyarakat maupun pemerintah Indonesia yang tidak memperhatikan kepentingan membaca sebagai kepentingan publik yang perlu difasilitasi. Perpustakaan kampusku sendiri hanya berada pada ruangan seluar kamar kos dengan koleksi buku-buku yang nggak bisa diandalkan, karena saking tuanya atau kurang bermutu. Hal yang sama juga terjadi pada perpustakaan SMA, SMP, dan lebih parah lagi SD. Perpustakaan umum daerah juga tidak banyak membantu. Yang disimpan disana kebanyakan buku-buku tua, dan tempatnya juga minim cahaya juga berbau aneh dengan nuansa angker. Ini jelas-jelas bukan tempat yang menjadi pilihanku untuk menghabiskan berjam-jam waktu untuk membaca. Yang sedikit lebih mending mungkin perpusatakaan di LIP, meskipun kebanyakan bukunya berbahasa Prancis maupun Inggris tapi koleksinya lengkap dan tempatnya nyaman, bersih, juga tidak berisik. Tapi sayangnya perpustakaan ini khusus untuk anggota LIP, berbayar, dan birokrasinya (untuk meminjam) kadang-kadang sulit. Parah banget memang nasib perpustakaan di Indonesia.


Perpustakaan pada dasarnya adalah wadah bagi masyarakat untuk membaca dan memperoleh informasi. Aku yakin semangat ini ada pada setiap diri manusia, namun kadang redup ketika tidak terfasilitasi. Yang perlu digarisbawahi adalah tidak semua orang bisa membeli buku atau bahan bacaan untuk memenuhi kebutuhan informasinya. Keadaan perpustakaan di Indonesia yang jarang dan tidak nyaman hanya akan menambah kelesuan budaya membaca, sehingga masyarakat menjadi semakin ketinggalan ilmu pengetahuan. Merosotnya ilmu pengetahuan hanya akan memicu keterpurukan suatu bangsa dalam segala bidang. Jadinya orang yang terlahir cerdas dapat tidak tahu apa-apa dan terjebak dalam kegelapan ilmu.

Oh, aku rindu sekali pada perpustakaan. Dulu aku punya banyak buku di rumah peninggalan paman, tante, nenek, ayah, dll. Tapi kini berangsur-angsur buku itu mulai rusak, hilang dan lenyap. Aku sih berusaha setiap kali punya anggaran lebih untuk membeli buku baru. Tapi lama-lama begah juga, kadang suka nyesek kalo lihat buku bagus di Gramedia/Toga Mas disegel dan nggak kebeli. Suka kadang pengen balas dendam, borong buku habis-habisan (sampe duit habis maksudnya, bukan stok habis) dan baca semuanya lalu ditata rapi di lemari. Beberapa kali aku sempat sih balas dendam, cuma kadang kecewa karena salah beli buku. Masalahnya ada beberapa buku yang cara penulisannya atau materinya kurang baik. Coba ada perpustakaan, kan nggak perlu beli. Membeli buku hanya membatasi hak seseorang untuk memperoleh informasi, seolah-olah hanya yang berduit saja yang berhak dapat informasi. Sungguh kenyataan yang sangat miris.


Sebenarnya sumber pengetahuan nggak hanya berasal dari buku. Bisa saja ilmu itu didapat dari obrolan ringan maupun browsing di internet. Namun obrolan ringan kadang memberikan ilmu yang lebih tidak relevan dan tidak terpercaya dibanding buku. Internet juga, meskipun banyak hal yang bisa didapat didalamnya, membaca teks di layar monitor tidak begitu baik untuk kesehatan mata. Internet juga sampai saat ini belum bisa diakses semua orang. Koneksi internet masih relatif mahal bagi sebagian orang, belum lagi fenomena gaptek yang masih mewarnai masyarakat Indonesia. Buku adalah satu-satunya penyelamat yang efektif. Aku sih berharap saja keadaan perpustakaan Indonesia di masa mendatang bisa sedikit menyejukkan. Tapi untuk bergerak sebenarnya kita semua bisa mulai dari sekarang. Percuma saja no action talk only, kalo emang belum bisa beli buku bisa usaha untuk patungan maupun menjadi anggota perpustakaan berbayar. Ilmu itu memang kadang mahal, tapi nantinya dapat menjadi dewa penolong di kemudian hari. Duh jadi inget ceramah subuh di radio tadi pagi.