Thursday, August 14, 2008
Lampu Merah Kebijaksanaan
Aku adalah salah satu dari manusia yang hidup di kota Jogja. Setiap harinya aku melewati banyak persimpangan jalan yang tersebar di kota ini. Saat itulah aku sadar bahwa kehidupan manusia itu tidak berbeda dengan persimpangan-persimpangan jalan ini. Sering kali di dalam kehidupan begitu banyak tabrakan antara kepentingan dua orang atau lebih. Untuk mengaturnya diperlukan sebuah alat pengatur yang secara sederhana aku ibaratkan sebagai lampu merah kebijaksanaan.
Lampu merah kebijaksanaan adalah suatu alat yang mampu mengatur kapan seseorang harus mendahulukan kepentingan pribadi, kelompok, ataupun orang lain disaat kesemuanya saling berbenturan. Berbeda dengan lampu merah pada umumnya, lampu merah kebijaksanaan tidak mengaturnya secara berurutan sesuai giliran. Lampu merah ini diatur oleh suatu kebijaksanaan dalam diri manusia.
Waktu, sumber daya, peluang dan banyak hal lainnya yang begitu sempit dan terbatas, tidak ekuivalen dengan tingkat kebutuhannya yang tak terbatas. Untuk itulah diperlukan sesuatu yang mampu mengaturnya agar dapat terdistribusi dengan baik. Ketika kebutuhan dapat terdistribusi dengan baik, maka keterbatasan itu akan dapat teratasi.
Seseorang yang dapat memahami lampu merah kebijaksanaan akan tahu saat dimana harus berhenti atau melaju, saat dimana harus mengalah atau berjuang. Sehingga setiap laju langkahnya akan tertata dengan baik begitu pula dengan rem yang diperlukan ketika dia harus berhenti. Hal-hal itulah yang diperlukan untuk menjadi pengemudi kehidupan yang baik, sehingga langkahnya akan membawa pada tujuan yang dia tempuh secara tepat dan efisien.
Untuk memahami lampu merah kehidupan pada awalnya seseorang harus mampu mengenal dirinya sendiri dengan baik. Mampu mengendalikan emosi, egoisme, sifat liar, nafsu dan keinginan adalah beberapa diantaranya. Kemudian adalah dengan memahami dan menanamkan sikap toleransi kepada orang lain. Seperti sebuah telur di dalam air keduanya harus seimbang, tidak mengapung ataupun tenggelam.
Sepertinya memang belum banyak solusi yang saya sediakan, karena memang sebenarnya memang saya belum menemukannya. Semoga seiring dengan waktu saya mampu memahami lampu merah kehidupan.
Labels:
beyond life,
indonesian,
psychology,
tips
Saturday, August 02, 2008
Rimba Belantara
Lingkungan ataupun situasi yang tenang dan damai dapat menjadi sesuatu yang begitu merugikan bagi pembentukan karakter manusia. Seseorang yang begitu terbiasa dinaungi oleh pohon beringin yang teduh akan begitu kepayahan ketika harus menghadapi teriknya sengatan sinar matahari di padang gurun yang kejam dan tak kenal ampun. Untuk itu diperlukan suatu sikap pada diri manusia untuk melakukan revolusi dan merombak karakternya agar siap dalam menghadapi situasi apapun. Cara yang paling simple adalah mencoba keluar dari comfortable zone atau zona kemapanan menuju apa yang disebut tantangan eksperimental.
Sejak lahir manusia telah tercemar oleh racun kehidupan. Setiap hari di beberapa masa dalam kehidupannya manusia diwajibkan untuk menelan pil pahit sampai akhirnya ia benar-benar kebal atas segala bentuk racun itu. Pil pahit itulah yang dinamakan cambuk untuk memulai suatu pecutan yang memompa adrenalin agar tercipta suatu gebrakan-gebrakan dalam diri manusia. Seseorang yang dibiarkan saja merasa puas dengan merangkak akan mustahil untuk berlari. Padahal hidup adalah sebuah pesawat jet dan melintas dengan kecepatan ultrasonik yang bahkan dengan berlaripun masih akan terasa begitu tertinggal. Ritme kehidupan terasa bagaikan pancaran-pancaran lampu laser yang begitu menyilaukan dan membutakan.
Penjelasan atas suatu ketidakmampuan sesungguhnya begitu irrasional untuk diterapkan pada manusia. Kelumpuhan semangat adalah jawaban atas ketidakmampuan itu. Kehidupan akan terasa lunak ketika seseorang keras terhadap diri sendiri. Namun sebaliknya hidup akan terasa begitu keras saat seseorang menanamkan sifat lunak didalam dirinya. Dunia merupakan belantara hanya menyediakan sedikit antelope-antelope untuk berpuluh kawanan singa yang lapar, selalu ada hukum rimba yang ditegakkan. Kesuksesan dan kegagalan mungkin saja dapat dikatakan sebuah takdir, namun bukan berarti manusia tidak dapat memilih. Bahan bakar dari kesuksesan adalah seseorang yang mampu mencambuk dirinya untuk mengejar mimpinya dan menentukan takdir yang dapat dipilihnya.
Labels:
beyond life,
indonesian
Friday, August 01, 2008
Arus dan Jangkar
Aku menyadari bahwa selama ini aku telah melakukan begitu banyak perubahan dalam hidupku. Aku sering merubah cara berpikirku, keinginanku, seleraku, keputusanku dan pilihanku. Di satu sisi aku terkesan sebagai pribadi yang undetermined yang tak tentu arah, namun di sisi lain aku berusaha menjadi pribadi yang fleksibel. Hidup telah menjadi suatu hal yang begitu dinamis, kompleks dan tidak pasti. Sebagaimana ikan salmon yang melawan arus deras sungai, manusia harus mampu berjuang dan menyesuaikan diri terhadap ritme kehidupan yang kadang begitu cepat dan liar.
Begitulah manusia, melakukan perubahan layaknya siluman yang mampu berubah-ubah bentuk. Hal itu semata-mata dilakukan untuk mengejar suatu kemantapan dan kebahagian yang ada kalanya terasa begitu semu. Karena dengan begitu banyak perubahan dan begitu banyak fleksibilitas, seseorang telah kehilangan bentuk dan arahnya. Saat itulah ia tidak mampu untuk melihat, mendengar, merasakan atau bahkan menyebutkan apa yang sedang ia kejar.
Kadangkala perubahan menciptakan suatu ketidakpastikan yang begitu memilukan di dalam diriku. Aku seperti layang-layang yang telah terlepas dari benangnya dan terombang ambing oleh angin yang kencang sebelum akhirnya jatuh entah kemana. Kadang manusia memerlukan tempat untuk berhenti sebagai akhir dari tujuannya. Tempat dimana jangkar dapat ditanamkan di tengah arus sungai yang deras dan menyesatkan. Begitu pula aku, sampai saat ini aku begitu ingin membenamkan jangkar disuatu tempat yang nyaman sebagai akhir dan ketidakpastianku. Ketidakpastian itulah yang terus menyerangku dan menghalangiku untuk membuat suatu keputusan dan ketetapan sehingga jangkar itu tidak segera kupasang.
Kehidupan telah menjadi kegelapan abadi dan tujuan-tujuan dari kehidupan adalah beberapa pelita yang tampak kontras diantaranya. Manusia yang hidup di tengah kegelapan selalu mencari penerangan dalam pelita-pelita itu. Kadang letaknya begitu jauh layaknya bintang yang berkelap-kelip dengan nakalnya. Untuk meraihnya aku perlu sebuah pedoman untuk memberiku petunjuk berupa suara-suara merdu yang menenangkan hati. Dengan itulah aku mampu dengan mantap mengarungi arus kehidupan hingga akhirnya aku berhenti untuk menanamkan jangkar. Mungkin kebahagiaanku beribu mil jauhnya, namun dengan keyakinan hati kebahagiaan itu dapat menjadi begitu dekat. Yang perlu aku lakukan hanyalah membuka mataku, telinga dan hatiku seluas-luasnya.
Labels:
beyond life,
indonesian,
personal journal
Subscribe to:
Posts (Atom)